*Catatan Mr. Pil
Kalau ingin berterima kasih, maka sampaikanlah itu ke orang-orang Crescent City (New Orleans), Amerika Serikat. Mereka yang mula-mula membumikan idiom ‘No Free Lunch’ di tahun 1800-an.
Berkat idiom ini, banyak orang akhirnya hati-hati dengan ajakan makan siang gratis (MSG). Lebih lagi kalau diajak politisi atau pejabat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Yang gratis tentu banyak orang suka. Tapi tetap sisakan minimal 1 persen keyakinan untuk hal buruk. Sebab, di era transaksional seperti saat ini, yang gratis justru dipertanyakan.
Lihat pemilu yang baru saja lewat. Banyak bantuan diberikan secara cuma-cuma. Sembako gratis. Kaus gratis. Sampai makan siang dan susu gratis.
Yang serba gratis itu ujung-ujungnya sama: cari suara sebanyak-banyaknya.
Menariknya, dari banyak hal yang bisa digratiskan, pemerintah ternyata memilih untuk mengelaborasi program makan siang.
Targetnya anak sekolah, santri, ibu hamil dan balita. Tak main-main. Program itu rencananya menyasar 82,9 juta penerima manfaat.
Anda tentu tahu, program ini salah satu janji kampanye paslon 02. Prabowo-Gibran.
Presiden RI sekaligus ayah Gibran, Jokowi, sudah membuka pintu lebar akan merealisasikan janji kampanye 02 ini. Sebagai fans 02 dari awal, Jokowi konsisten berada di garis abu-abu ini.
Lantas cukup krusialkah program MSG hingga harus dibahas lebih awal. Sebelum yang punya program resmi duduk di singgasana?
Banyak orang penasaran, kenapa harus makan siang yang digratiskan? Bukan pendidikan gratis? Layanan kesehatan gratis? Atau transportasi gratis?
Anggap saja banyak yang setuju dengan program ini. Namun, tetap akan ada pertanyaan.
Bagaimana aturan teknisnya? Emangnya mudah menyiapkan MSG untuk puluhan juta anak?
Suplainya dari mana? Quality control menunya bagaimana?
Rasa-rasanya program ini akan membuat stake holder kerja ekstra keras. Pemborong juga pasti akan lintang-pukang mengerjakannya.
Belum lagi gejolak pangan yang mungkin akan terjadi. Beras langka di pasaran, misalnya. Ini sangat bisa terjadi jika pemborong harus kejar deadline.
Baca juga: Penjualan Beras SPHP di Ngawi Nyaris Ricuh
Masalah yang akan terjadi kelak tentu harus diantisipasi. Jangan sampai MSG harus dibayar dengan kelangkaan komoditas pertanian dan hasil laut.
Jangan sampai petani dan nelayan membayar makan siang gratis ini dengan ekploitasi dan iming-iming kemitraan.
Yang lebih membahayakan, jangan sampai MSG dibayar dengan deforestasi food estate jilid dua.
Jadi tetaplah curiga, karena sejak awal, tidak ada namanya Makan Siang Gratis.
Editor : Aqsa Juang