MADIUN, NEUMEDIA.ID – Harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani terus merosot selama sebulan terakhir. Badan Pangan Nasional/National Foof Agency (NFA) penurunan harga secara bertahap ini karena telah memasuki musim panen raya padi.
Deputi Bidang Kerawanan Pangan dan Gizi NFA Nyoto Suwignyo mengatakan bahwa harga rata-rata nasional komoditas itu mencapai Rp 6.820 per kilogram sejak sepekan terakhir.
Namun, di wilayah Kabupaten Madiun harga GKP berada di bawah rata-rata nasional tersebut. Purnomo, salah seorang petani di Kecamatan Sawahan mengatakan bahwa harga GKP hanya Rp 6.200 per kilogram. Harga itu berlaku sejak dua pekan terakhir.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Baca Juga : Harga Gabah Petani Turun, Tapi Beras Masih Melambung
Perbedaan harga rata-rata nasional dengan kondisi di lapangan dinilai karena adanya ‘permainan’ oleh pihak-pihak tertentu. Apalagi, semakin menjamurnya tengkulak yang ‘menjamah’ sawah di wilayah Madiun.
Salah satu kerja tengkulak itu dengan memberikan jasa panen sistem tebasan (cara penjualan suatu produk pertanian saat siap atau sebelum dipanen).
Dalam sistem ini, petani pemilik lahan tidak terlibat dalam pemanenan padi. Sebab, setiap proses pemanenan mulai dari pembabaran tanaman hingga perontokan bulir padi dijalankan oleh mesin yang biasa disebut dos atau kombi (Combine Harvester).
Lantas, gabah hasil panen tersebut langsung diangkut dengan truk menuju sejumlah daerah lain. “Biasanya, kalau gabah dari sini (bagian timur Kabupaten Madiun) dibawa ke Nganjuk dan Kediri,” ujar Purnomo, akhir pekan lalu.
Baca Juga : Timbul Tenggelam Beras Program SPHP di Pasaran Madiun
Danang Sudarmanto, salah seorang petani di Desa Kebonagung, Kecamatan Mejayan, Kabupaten Madiun merasa terbantu dengan jasa panen padi yang ditawarkan tengkulak. Sebab, dia tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan untuk panen secara manual.
“Kalau dipanen sendiri, masih harus mengeluarkan biaya panen, seperti ngarit pari, gepyok, ngusung gabah. Saya hitung-hitung, biayanya lebih murah ditebas berdiri (antara petani dan tengkulak sepakat jual beli saat tanaman padi masih tegak berdiri),” jelas dia.
Wahyu Edi, pengusaha penggilingan padi di Desa Wonorejo, Mejayan mengatakan bahwa kemunculan jasa panen secara tebasan itu memunculkan tantangan tersendiri bagi pihaknya. Maka, ia menilai pemanenan sendiri oleh petani sebenarnya hasilnya justru lebih tinggi dibandingkan dilakukan tengkulak.
Hanya saja, para tengkulak memberikan iming-iming memberikan paket harga untuk seluruh pekerjaan panen padi. “Di sinilah, menurut saya petani ‘dimanfaatkan’ tengkulak. Mereka lebih senang dengan model pembelian sistem borong, karena segera membutuhkan uang untuk mulai persiapan musim tanam lagi,” jelas Wahyu. (ofi)
Editor : Nofika D. Nugroho
Sumber Berita : Berbagai sumber dan reportase neumedia.id